Polarisasi KTI dan KBI Kian Kejam
Salah satu kelemahan pembangunan Indonesia adalah prioritas pembangunan
yang monoton hanya mengedepankan sisi tilik kepadatan penduduk.
Pulau-pulau yang memiliki mayoritas jumlah penduduk selalu dikategorikan
lebih maju, lebih baik dan lebih berkembang ketimbang kawasan yang
jarang penduduknya. Lihat saja perlakuan pemerintah terhadap Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi. Padahal, potensi daerah yang senantiasa
mendongkrak perekonomian dan titik-titik vital perkembangan pendapatan
per kapita Indonesia ada di kantong-kantong yang jarang penduduknya.
Papua dengan hasil alamnya merupakan kawasan yang memberikan kontribusi
terbesar dalam pendapatan nasional, namun menjadi daerah yang sangat
dianaktirikan sejak ‘konspirasi’ lama membawa wilayah ter-timur ini
masuk dalam pangkuan NKRI.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pun menjadi sesuatu yang rancu
dan lebih banyak hanya menjadi bualan formalitas belaka. Masyarakat
bahkan pada titik yang paling ekstrim digusur untuk tertahan pada
banalisme akut dengan apatis terhadap perkembangan dan pembangunan yang
terjadi. Masyarakat dibuat kehilangan arah dan benar-benar tidak peduli
dengan kehancuran pemerintahan dan semrawutnya pembangunan. Idealnya
pembangunan di Indonesia tetap akan merupakan urusan orang-orang elite
yang memainkan bola dan uang seluruh rakyat Indonesia sesuka hati
mereka. Jangan harap ada proses timbal balik yang mutual dalam relasi
pemerintah-masyarakat untuk kawasan-kawasan yang ‘kekurangan penduduk.’
Luas wilayah yang berada di luar Jawa tidak pernah masuk dalam hitungan
pemerintah. Yang bisa dilakukan di kawasan-kawasan tersebut hanyalah
pencurian, pencaplokan, eksploitasi dan pembodohan yang abadi. Tidak ada
yang perlu bertanggung jawab atas hilangnya jutaan hektar hutan di
Kalimantan, Papua pun tidak ada yang pernah melakukan pencemaran dan
pencurian di lautan Indonesia Timur, tidak ada.
Kearifan lokal dan ketinggian kultur daerah tertentu hanyalah isapan
jempol belaka yang tidak penting. Yang paling penting adalah roda
kehidupan Jawa-Sumatera yang harus dijaga dan diantisipasi terus-menerus
dengan tekanan dan ancaman subversif yang kian hari kian menakutkan.
Polarisasi Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia
(KBI) harus berhulu pada kenyataan praktis dan sederhana TUAN dan BUDAK.
Dan lewat konspirasi yang sama, pengkhianat-pengkhianat daerah-daerah
KTI dibiakkan dengan subur untuk loyal dan senantiasa tunduk pada “apa
kata Jakarta” dan apa kata “sang bapak.” Anak-anak budak akan lebih
loyal kepada sang tuang karena hanya memiliki sedikit semangat untuk
melawan. Pemimpin-pemimpin daerah tidak lebih dari pion yang bahkan
dalam satu langkah bisa dikorbankan agar permaisuri dan raja tetap
hidup.
Birokrasi pemerintah daerah pun dibuat amburadul, pegawai-pegawai dibuat
malas dan tidak pernah ada usaha untuk mengedepankan ethos profesional.
Kelas pekerja semakin nyata. Koorporasi besar yang diatur dari Jawa
menempatkan putra-putra daerah tidak pernah masuk dalam lingkaran
pekerja kelas I apalagi VIP, semuanya melulu hanya pekerja kelas
ekonomi, yang hanya bisa mengandalkan fisik. Padahal, intelegensia
penduduk Indonesia itu tidak ditakdirkan oleh tempat kelahiran.
Anak-anak KTI tidak sedikit yang brilian dan mampu, anak-anak KTI tidak
sedikit yang bisa mengharumkan nama daerahnya langsung ke level
internasional tanpa masuk dalam nepotisme dan sukuisme di wilayah KBI.
Salah seorang senior saya pernah mengatakan bahwa, “Kita di Timur yang
mengirim matahari untuk mencerahkan kehidupan anjing-anjing di Barat.
Mungkin mereka belum dicerahkan dan belum melihat hal tersebut dengan
nyata, suatu saat sinar terang yang selalu datang dari Timur itu akan
membuka mata, pikiran dan perasaan mereka.”
Terlalu naif kalau saya mengatakan petuah emosional di atas sebagai
sesuatu yang bijaksana secara mutlak, namun tidak ada salahnya jika
beberapa baris katanya itu saya kedepankan sebagai sebuah motivasi untuk
berjuang menghidupi keberagaman pun mempertanyakan ketidakadilan demi
ketidakadilan yang tidak pernah disadari dan akhirnya diterima sebagai
sesuatu yang biasa.
Pembangunan sektoral dan regional yang selalu tak sinkron membuat bangsa
ini terus-menerus terperangkap dalam absolutisme jakarta-sentris. Semua
yang baik itu hanya ada di Jakarta. Puihhh. Zeitgeist (roh masa)
menunjukkan bahwa perkembangan zaman ini ditentukan oleh komposisi ideal
yang emansipatoris dan partisipatoris. Jangan pernah mengajarkan orang
Papua menjadi orang Jawa, tetapi ajarilah orang Papua menjadi orang
Papua yang benar-benar Papua karena interaksi, komunikasi dan komunikasi
yang sejajar dan setara dengan orang Jawa. Komunikasi berbasis
kemitraan yang dibutuhkan bukan represivitas buatan Jakarta yang norak
dengan sampahnya.
Dua pertiga penduduk Indonesia ada di Jawa, namun dua pertiga wilayah
Indonesia yang luas itu tidak ada di Jawa. Adanya di LUAR JAWA. Nah,
mari melayangkan pikiran dan hati ke daerah-daerah di LUAR JAWA
tersebut, sekalipun ada kekurangan penduduk di sana, sekalipun hanya ada
tangis dan air mata di sana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar